Fenomena tentang
akuntabilitas, saat ini semakin gencar disuarakan dengan adanya tuntutan
masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Ini membuktikan bahwa kecenderungan
masyarakat pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Jalal dan Dedi (2001)
menyatakan bahwa bila di masa lalu masyarakat cenderung menerima apa pun yang
diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa
yang diberikan oleh pendidikan. Masyarakat yang notabene membayar pendidikan
merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya dan
anak-anaknya.
Konsepsi tentang
akuntabilitas berkembang dari pendapat bahwa siapapun yang diserahi tugas
mendidik harus dapat mempertanggungjawabkan tugasnya itu. Pengertian
tanggungjawab disini masih mengandung ukuran yang kabur. Masih banyak orang
yang mengukur tanggungjawab itu dari segi masukan kealatan semata. dalam hal
ini mereka menganggap telah berhasil melaksanakan tanggungjawabnya bila telah
mengajar, memberikan buku,atau secara lebih makro lagi telah membangun
gedung-gedung, serta mencetak jutaan buku pelajaran.
Pelaksanaan konsep
akuntabilitas dalam pendidikan di Indonesia saat ini sedang disorot mengingat
banyak sekali masalah yang menghinggapi, mulai dari kinerja pendidik atau guru
yang tidak sesuai dengan kompetensinya, sampai pada lembaga pendidikan itu
sendiri yang lebih mengutamakan bisnis daripada mutu layanan pendidikan yang
dijalankannya, sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan mengapa hal ini
bisa terjadi demikian. Untuk itu, memang
tidak mudah menerapkan akuntabilitas pendidikan yang baik, karena dibutuhkan
kerjasama yang baik setidaknya ada enam pihak yang terlibat untuk
mewujudkannya, yaitu siswa (peserta didik), guru (pendidik), administrator
pendidikan, lembaga pendidikan, tenaga kependidikan, masyarakat (termasuk orang
tua dan rakyat) dan pemerintah.
Sehubungan
dengan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya, maka masalah yang perlu
dipecahkan yang berkaitan dalam judul atau tema makalah ini adalah : apakah yang
melatar belakangi masalah akuntabilitas pendidikan? Upaya-upaya apakah yang
harus dilakukan untuk mengantisipasi akuntabilitas pendidikan yang sedang
bermasalah? Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ditujukan bagi penulis
makalah dan pembaca makalah. Tujuan bagi penulis, yaitu makalah ini dimaksudkan
untuk membahas mengenai akuntabilitas pendidikan dan permasalahannya. Sementara
itu bagi pembaca, makalah ini dapat dijadikan untuk menambah wawasan dan
khasanah ilmu pengetahuan terutama pada hal yang berkaitan dengan akuntabilitas
pendidikan.
Menurut Leon M.
Lessinger (dalam Knezevich, 1973), secara operasional akuntabilitas pendidikan
dapat diartikan sebagai penilaian yang bebas dan terus menerus terhadap
pencapaian (hasil belajar) siswa ; dapat diartikan sebagai hubungan pencapaian
siswa dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dengan sumber-sumber yang
telah diadakan, dan dengan cara-cara keahlian yang ditetapkan. Berdasarkan hal
tersebut, untuk mencapai kemantapan akuntabilitas seharusnya ditetapkan apakah
penyelesaian suatu tugas dapat secara objektif diperiksa dan dinilai.
Akuntabilitas
membutuhkan aturan, ukuran atau kriteria, sebagai indikator keberhasilan suatu
pekerjaan atau perencanaan. Dengan demikian, maka akuntabilitas adalah suatu
keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil
kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan
rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan
adalah kemampuan lembaga pendidikan (sekolah) mempertanggungjawabkan kepada
publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan.
Tujuan akuntabilitas
pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah.
Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang
lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap
sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan
bahwa tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya
akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya
sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa
mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.
Selain itu, tujuan
akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap
pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan
publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan
komitmen pelayanan pendidikan kepada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas di
atas hendak menegaskan bahwa akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem
penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya
kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan
bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen lembaga
pendidikan yang berkinerja tinggi.
Jenis-
jenis Akuntabilitas Pendidikan
Akuntabilitas
pendidikan menurut Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi (1983:78) dibedakan
menjadi tiga, yaitu akuntabilitas keberhasilan, akuntabilitas profesional, dan
akuntabilitas sistem.
1. Akuntabilitas
keberhasilan
Akuntabilitas sistem
dimulai dengan penetapan tujuan-tujuan yang spesifik. Dalam hal ini, usaha
pendidikan diarahkan untuk menutup jurang antara keadaan awal peserta didik
dengan keadaan akhir yang diharapkan sebagaimana yang menjadi tujuan yang
spesifik itu. Jenis akuntabilitas ini, menilai keberhasilan pengajaran dengan
cara langsung mengukur keadaan siswa atau peserta didiknya.
2. Akuntabilitas
profesional
Jenis akuntabilitas ini
mengacu pada seberapa jauh standar praktis tentang sikap, keterampilan, dan teknik-teknik
yang telah teruji secara sahih dan handal dipakai dalam mevapai hasil yang
setinggi-tingginya. Pada dasarnya, akuntabilitas profesional ini berkaitan
dengan akuntabilitas keberhasilan karena mengingat dengan keahlian yang
profesional tersebut, guru bekerja mengusahakan keberhasilan siswa.
3. Akuntabilitas
sistem
Secara keseluruhan, sistem
pendidikan hendaknya akuntabel dalam mewujudkan janji-janjinya kepada
masyarakat sebagai imbalan dari berbagai kemudahan (fasilitas) yang telah
diberikan kepada masyarakat. Dalam menjalankan akuntabilitas yang menyangkut
dirinya sendiri, suatu sistem harus mampu mengukur pencapaian siswa, serta
menghubungkan hasil pengukuran itu dengan tujuan, harapan masyarakat, dengan
sumber-sumber yang tersedia, dan dengan cara-cara keahlian profesional yang
telah digunakan.
Permasalahan
Terhadap Akuntabilitas Pendidikan
Akuntabilitas
pendidikan pada dasarnya tidak menghendaki adanya masalah dan pelanggaran dalam
suatu usaha pendidikan, baik yang disengaja maupun tidak. Suatu tindakan dalam
bidang pendidikan dianggap menyimpang atau melanggar jika tindakan itu
mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang lain atau kepentingan umum. Dalam
kaitan ini, A. Ridwan Halim (dalam Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi:1983)
mengidentifikasi 14 kelompok utama pelanggaran yang terjadi dalam mencoreng
akuntabilitas di dunia pendidikan atau dapat disebut dengan tindak pidana
pendidikan. Pelanggaran-pelanggaran yang dapat ditemui sampai saat ini antara
lain:
1. Penekanan
atau penggencetan yang dilakukan oleh pendidik kepada siswanya, yang menurut
latar belakangnya dibedakan atas:
- Penekanan
yang berlatar komersial yang dalam pelaksanaannya sama dengan pemerasan
tersamar.
- Penekanan yang berlatar belakang sentimen pribadi.
- Penekanan yang berlatar belakang sentimen pribadi.
2. Penekanan
tertentu dari pendidik kepada siswanya agar siswanya itu memenuhi kemauan
pengajar, misalnya agar siswa:
- Mengikuti
les/kursus di luar kelas yang diselenggarakan oleh pendidik itu.
- Membeli
diktat yang dibuat oleh pendidik itu.
- Memberikan sesuatu kepada pendidik sebagai “upeti”
- Memberikan sesuatu kepada pendidik sebagai “upeti”
3. Perlakuan-perlakuan
tidak wajar dan tidak beralasan yang dilakukan oleh pendidik mengajar kepada
siswanya, baik secara badaniah (melalui tindakan kasar, pelecehan seksual)
maupun secara rohaniah atau mental (misalnya melalui pengejekan, penghinaan,
penggertakan)
4. Pelaksanaan
pengajaran dengan memberi isi dan metode yang bermutu rendah yang sebenarnya
hampir tidak ada manfaatnya bagi siswa, bahkan dapat membahayakannya, antara
lain:
Pengajaran
yang dilakukan oleh guru yang:
1) Malas, sering tidak menerangkan hal-hal
yang penting dan sering tidak mau menjelaskan kesalahan-kesalahan siswanya
hampir tidak ada.
2)
Picik atau berpandangan sempit, tidak
mau mengakui dan tidak mau membenarkan pendapat lain yang bukan pendapatnya,
dan memaksa siswa untuk menerima ajarannya itu, meskipun dia tahu bahwa ada
pendapat lain yang lebih baik dari ajarannya itu.
3) Tidak menguasai bahan yang diajarkan
sehingga pengajaran dilakukan dengan asal-asalan tanpa tanggungjawab yang
layak.
b. Penyajian
bahan-bahan ajaran yang tidak memenuhi syarat yang layak untuk dipakai mencapai
mutu pelajaran yang memadai, serta tidak adanya prakarsa dan usaha-usaha lain
untuk memperbaikinya.
5. Pencurian,
pemalsuan, atau pembajakan karya ilmiah orang lain dapalam bentuk apapun, baik
seluruhnya atau sebagian.
6. Penipuan
atau pengakuan palsu dari seseorang mengenai jabatan dan/atau hasil karya
tertentu (yang sebenarnya tidak ada) dengan maksud agar dipercaya orang lain
sehingga dapat memperoleh sesuatu yang sebenarnya bukan haknya.
7. Pencemaran
nama baik dan wibawa suatu lembaga pendidikan formal melalui perbuatan tidak
layak yang dilakukan dengan melibatkan orang dalam lembaga itu, baik pengajar,
siswa, maupun karyawan.
8. Berbagai
macam pembocoran rahasia yang merusak obyektivitas nilai serta mutu pendidikan
dan pengajaran, misalnya pembocoran kunci jawaban Ujian Nasional.
9. Penyalahgunaan
jabatan yang dalam bentuk dan manifestasinya merugikan kepentingan umum dan
merusak kewibawaan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
10. Penyelewengan
dan penyalahgunaan beasiswa, misalnya beasiswa itu ditujukan pada orang yang
tidak berhak dipergunakan secara tidak semestinya.
11. Penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari kebenaran umum tanpa dapat
dipertanggungjawabkanoleh pengajar yang bersangkutan serta berakibat buruknya
bagi siswa.
12. Penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari nilai-nilai kesopanan,
kesusilaan, hukum, dan ketertiban umum.
13. Berbagai
macam tindakan pengacauan terhadap situasi dan kondisi yang normal untuk
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, misalnya mogok belajar, mogok
mengajar tanpa alasan yang jelas, tawuran pelajar, dan pengacauan atau ancaman
terhadap keamanan diri para penyelenggara pendidikan dan pengajaran.
14. Tindakan
pengancaman, penggeseran, pemojokan, pemfitnahan, penghalang-halangan dan
sejenisnya terhadap pihak yang sungguh-sungguh ingin mengusut, membongkar,
menindak tiap pelaku tindak pidana pendidikan.
Upaya
yang harus Dilakukan terhadap Akuntabilitas Pendidikan dan Permasalahaannya
Untuk mengantisipasi
meluasnya masalah maupun penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh guru,
murid, lembaga, maupun institusi pendidikan itu sendiri, maka perlu diterapkan
peraturan-peraturan khusus dalam penyelenggaraan pendidikan sehari-hari. Kode
etik kependidikan juga perlu diperkuat dengan adanya peraturan-peraturan
seperti itu.
Selain itu, menurut
Slamet (2005:6) bahwa upaya lain yang harus dilakukan untuk mengantisipasi
adanya penyimpangan dari akuntabilitas pendidikan terutama yang dilakukan oleh
lembaga formal (sekolah) adalah dengan cara sebagai berikut:
1. Sekolah
harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme
pertanggungjawaban.
2. Sekolah
perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara
sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
3. Sekolah
menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada public atau
stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
4. Menyusun
indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada
stakeholders.
5. Melakukan
pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya
kepada public atau stakeholders diakhir tahun.
6. Memberikan
tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik.
7. Menyediakan
informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan
pendidikan.
8. Memperbaharui
rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.
Kedelapan
upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk
mewujudkannya. Jika sekolah mengetahui sumber dayanya, maka dapat lebih mudah
digerakkan untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat
melibatkan stakeholders untuk menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap
tidak dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah,
orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk
melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan merasa memiliki
akan sistem yang ada.
Kesimpulan
Meskipun penerapan konsep
akuntabilias pendidikan masih mengalami berbagai kesulitan, namun hal itu tetap
perlu dilakukan, terutama pada lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah) yang
pada pelaksanaannya memperoleh pengawasan resmi dari pemerintah. Penugasan
resmi ini menuntut pertanggungjawaban yang memadai dari mereka yang ditugaskan
tersebut. Selain itu, akuntabilitas juga merupakan syarat mutlak bagi penerapan
kode etik kependidikan agar tunduk pada peraturan-peraturan sesuai dengan norma
yang berlaku;
Akuntabilitas semakin memiliki relevansi dalam
dunia pendidikan ketika sekolah diberikan kewenangan untuk mengelola dirinya
sendiri, berdasarkan karakteristik, dan kebolehannya; nilai dan kultur, serta
matinya perasaan terdesak menjadi faktor penghadang di depan hambatan dalam
mewujudkan akuntabilitas pendidikan; upaya-upaya untuk mewujudkan dan meningkatkan
akuntabilitas di sekolah sangat bergantung kepada kemauan dan kemampuan serta
visi perubahan warga sekolah mewujudkan akuntabilitas serta memiliki efek pada pencitraan publik terhadap
sekolah.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1983. Materi Dasar Pendidikan Akta Mengajar V Buku
IIA, Dasar Ilmu Pendidikan.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jalal Fasli & Dedi Supriyadi .2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi
Daerah.Yogyakarta: AdiCita
Knezevich, S.J. (Ed.).1973. Creating Appraisal and Accountability Systems. San Francisco:
Jossey Bass, Inc.
Slamet PH. 2005. Handout
Kapita Selekta Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas RI.