Senin, 23 Maret 2015

AKUNTABILITAS PENDIDIKAN DAN PERMASALAHANNYA



Fenomena tentang akuntabilitas, saat ini semakin gencar disuarakan dengan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Ini membuktikan bahwa kecenderungan masyarakat pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Jalal dan Dedi (2001) menyatakan bahwa bila di masa lalu masyarakat cenderung menerima apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa yang diberikan oleh pendidikan. Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya.
Konsepsi tentang akuntabilitas berkembang dari pendapat bahwa siapapun yang diserahi tugas mendidik harus dapat mempertanggungjawabkan tugasnya itu. Pengertian tanggungjawab disini masih mengandung ukuran yang kabur. Masih banyak orang yang mengukur tanggungjawab itu dari segi masukan kealatan semata. dalam hal ini mereka menganggap telah berhasil melaksanakan tanggungjawabnya bila telah mengajar, memberikan buku,atau secara lebih makro lagi telah membangun gedung-gedung, serta mencetak jutaan buku pelajaran.  
Pelaksanaan konsep akuntabilitas dalam pendidikan di Indonesia saat ini sedang disorot mengingat banyak sekali masalah yang menghinggapi, mulai dari kinerja pendidik atau guru yang tidak sesuai dengan kompetensinya, sampai pada lembaga pendidikan itu sendiri yang lebih mengutamakan bisnis daripada mutu layanan pendidikan yang dijalankannya, sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan mengapa hal ini bisa  terjadi demikian. Untuk itu, memang tidak mudah menerapkan akuntabilitas pendidikan yang baik, karena dibutuhkan kerjasama yang baik setidaknya ada enam pihak yang terlibat untuk mewujudkannya, yaitu siswa (peserta didik), guru (pendidik), administrator pendidikan, lembaga pendidikan, tenaga kependidikan, masyarakat (termasuk orang tua dan rakyat) dan pemerintah. 
Sehubungan dengan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya, maka masalah yang perlu dipecahkan yang berkaitan dalam judul atau tema makalah ini adalah : apakah yang melatar belakangi masalah akuntabilitas pendidikan? Upaya-upaya apakah yang harus dilakukan untuk mengantisipasi akuntabilitas pendidikan yang sedang bermasalah? Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ditujukan bagi penulis makalah dan pembaca makalah. Tujuan bagi penulis, yaitu makalah ini dimaksudkan untuk membahas mengenai akuntabilitas pendidikan dan permasalahannya. Sementara itu bagi pembaca, makalah ini dapat dijadikan untuk menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan terutama pada hal yang berkaitan dengan akuntabilitas pendidikan.

 Pengertian dan Tujuan Akuntabilitas Pendidikan
Menurut Leon M. Lessinger (dalam Knezevich, 1973), secara operasional akuntabilitas pendidikan dapat diartikan sebagai penilaian yang bebas dan terus menerus terhadap pencapaian (hasil belajar) siswa ; dapat diartikan sebagai hubungan pencapaian siswa dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dengan sumber-sumber yang telah diadakan, dan dengan cara-cara keahlian yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, untuk mencapai kemantapan akuntabilitas seharusnya ditetapkan apakah penyelesaian suatu tugas dapat secara objektif diperiksa dan dinilai.
Akuntabilitas membutuhkan aturan, ukuran atau kriteria, sebagai indikator keberhasilan suatu pekerjaan atau perencanaan. Dengan demikian, maka akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan adalah kemampuan lembaga pendidikan (sekolah) mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan.
Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan bahwa tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.
Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen lembaga pendidikan yang berkinerja tinggi.

Jenis- jenis Akuntabilitas Pendidikan
Akuntabilitas pendidikan menurut Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi (1983:78) dibedakan menjadi tiga, yaitu akuntabilitas keberhasilan, akuntabilitas profesional, dan akuntabilitas sistem.
1.      Akuntabilitas keberhasilan
Akuntabilitas sistem dimulai dengan penetapan tujuan-tujuan yang spesifik. Dalam hal ini, usaha pendidikan diarahkan untuk menutup jurang antara keadaan awal peserta didik dengan keadaan akhir yang diharapkan sebagaimana yang menjadi tujuan yang spesifik itu. Jenis akuntabilitas ini, menilai keberhasilan pengajaran dengan cara langsung mengukur keadaan siswa atau peserta didiknya.
2.      Akuntabilitas profesional
Jenis akuntabilitas ini mengacu pada seberapa jauh standar praktis tentang sikap, keterampilan, dan teknik-teknik yang telah teruji secara sahih dan handal dipakai dalam mevapai hasil yang setinggi-tingginya. Pada dasarnya, akuntabilitas profesional ini berkaitan dengan akuntabilitas keberhasilan karena mengingat dengan keahlian yang profesional tersebut, guru bekerja mengusahakan keberhasilan siswa. 
3.      Akuntabilitas sistem
Secara keseluruhan, sistem pendidikan hendaknya akuntabel dalam mewujudkan janji-janjinya kepada masyarakat sebagai imbalan dari berbagai kemudahan (fasilitas) yang telah diberikan kepada masyarakat. Dalam menjalankan akuntabilitas yang menyangkut dirinya sendiri, suatu sistem harus mampu mengukur pencapaian siswa, serta menghubungkan hasil pengukuran itu dengan tujuan, harapan masyarakat, dengan sumber-sumber yang tersedia, dan dengan cara-cara keahlian profesional yang telah digunakan.

Permasalahan Terhadap Akuntabilitas Pendidikan
Akuntabilitas pendidikan pada dasarnya tidak menghendaki adanya masalah dan pelanggaran dalam suatu usaha pendidikan, baik yang disengaja maupun tidak. Suatu tindakan dalam bidang pendidikan dianggap menyimpang atau melanggar jika tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang lain atau kepentingan umum. Dalam kaitan ini, A. Ridwan Halim (dalam Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi:1983) mengidentifikasi 14 kelompok utama pelanggaran yang terjadi dalam mencoreng akuntabilitas di dunia pendidikan atau dapat disebut dengan tindak pidana pendidikan. Pelanggaran-pelanggaran yang dapat ditemui sampai saat ini antara lain:
1.  Penekanan atau penggencetan yang dilakukan oleh pendidik kepada siswanya, yang menurut latar belakangnya dibedakan atas:
   - Penekanan yang berlatar komersial yang dalam pelaksanaannya sama dengan pemerasan tersamar. 
  - Penekanan yang berlatar belakang sentimen pribadi.
2.      Penekanan tertentu dari pendidik kepada siswanya agar siswanya itu memenuhi kemauan pengajar, misalnya agar siswa:
 - Mengikuti les/kursus di luar kelas yang diselenggarakan oleh pendidik itu.
 - Membeli diktat yang dibuat oleh pendidik itu. 
 - Memberikan sesuatu kepada pendidik sebagai “upeti”
3.      Perlakuan-perlakuan tidak wajar dan tidak beralasan yang dilakukan oleh pendidik mengajar kepada siswanya, baik secara badaniah (melalui tindakan kasar, pelecehan seksual) maupun secara rohaniah atau mental (misalnya melalui pengejekan, penghinaan, penggertakan)
4.      Pelaksanaan pengajaran dengan memberi isi dan metode yang bermutu rendah yang sebenarnya hampir tidak ada manfaatnya bagi siswa, bahkan dapat membahayakannya, antara lain:
            Pengajaran yang dilakukan oleh guru yang:
1)    Malas, sering tidak menerangkan hal-hal yang penting dan sering tidak mau menjelaskan kesalahan-kesalahan siswanya hampir tidak ada. 
2)            Picik atau berpandangan sempit, tidak mau mengakui dan tidak mau membenarkan pendapat lain yang bukan pendapatnya, dan memaksa siswa untuk menerima ajarannya itu, meskipun dia tahu bahwa ada pendapat lain yang lebih baik dari ajarannya itu. 
3)        Tidak menguasai bahan yang diajarkan sehingga pengajaran dilakukan dengan asal-asalan tanpa tanggungjawab yang layak.
b.      Penyajian bahan-bahan ajaran yang tidak memenuhi syarat yang layak untuk dipakai mencapai mutu pelajaran yang memadai, serta tidak adanya prakarsa dan usaha-usaha lain untuk memperbaikinya.
5.      Pencurian, pemalsuan, atau pembajakan karya ilmiah orang lain dapalam bentuk apapun, baik seluruhnya atau sebagian.
6.      Penipuan atau pengakuan palsu dari seseorang mengenai jabatan dan/atau hasil karya tertentu (yang sebenarnya tidak ada) dengan maksud agar dipercaya orang lain sehingga dapat memperoleh sesuatu yang sebenarnya bukan haknya.
7.      Pencemaran nama baik dan wibawa suatu lembaga pendidikan formal melalui perbuatan tidak layak yang dilakukan dengan melibatkan orang dalam lembaga itu, baik pengajar, siswa, maupun karyawan.
8.      Berbagai macam pembocoran rahasia yang merusak obyektivitas nilai serta mutu pendidikan dan pengajaran, misalnya pembocoran kunci jawaban Ujian Nasional.
9.      Penyalahgunaan jabatan yang dalam bentuk dan manifestasinya merugikan kepentingan umum dan merusak kewibawaan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
10.  Penyelewengan dan penyalahgunaan beasiswa, misalnya beasiswa itu ditujukan pada orang yang tidak berhak dipergunakan secara tidak semestinya.
11.  Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari kebenaran umum tanpa dapat dipertanggungjawabkanoleh pengajar yang bersangkutan serta berakibat buruknya bagi siswa.
12.  Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari nilai-nilai kesopanan, kesusilaan, hukum, dan ketertiban umum.
13.  Berbagai macam tindakan pengacauan terhadap situasi dan kondisi yang normal untuk penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, misalnya mogok belajar, mogok mengajar tanpa alasan yang jelas, tawuran pelajar, dan pengacauan atau ancaman terhadap keamanan diri para penyelenggara pendidikan dan pengajaran.
14.  Tindakan pengancaman, penggeseran, pemojokan, pemfitnahan, penghalang-halangan dan sejenisnya terhadap pihak yang sungguh-sungguh ingin mengusut, membongkar, menindak tiap pelaku tindak pidana pendidikan.

Upaya yang harus Dilakukan terhadap Akuntabilitas Pendidikan dan Permasalahaannya
Untuk mengantisipasi meluasnya masalah maupun penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh guru, murid, lembaga, maupun institusi pendidikan itu sendiri, maka perlu diterapkan peraturan-peraturan khusus dalam penyelenggaraan pendidikan sehari-hari. Kode etik kependidikan juga perlu diperkuat dengan adanya peraturan-peraturan seperti itu.
Selain itu, menurut Slamet (2005:6) bahwa upaya lain yang harus dilakukan untuk mengantisipasi adanya penyimpangan dari akuntabilitas pendidikan terutama yang dilakukan oleh lembaga formal (sekolah) adalah dengan cara sebagai berikut:
1. Sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggungjawaban.
2.    Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
3.      Sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada public atau stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
4.   Menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders.
5.      Melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada public atau stakeholders diakhir tahun.
6.      Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik.
7.      Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan.
8.      Memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.
Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk mewujudkannya. Jika sekolah mengetahui sumber dayanya, maka dapat lebih mudah digerakkan untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada.

Kesimpulan
Meskipun penerapan konsep akuntabilias pendidikan masih mengalami berbagai kesulitan, namun hal itu tetap perlu dilakukan, terutama pada lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah) yang pada pelaksanaannya memperoleh pengawasan resmi dari pemerintah. Penugasan resmi ini menuntut pertanggungjawaban yang memadai dari mereka yang ditugaskan tersebut. Selain itu, akuntabilitas juga merupakan syarat mutlak bagi penerapan kode etik kependidikan agar tunduk pada peraturan-peraturan sesuai dengan norma yang berlaku;
 Akuntabilitas semakin memiliki relevansi dalam dunia pendidikan ketika sekolah diberikan kewenangan untuk mengelola dirinya sendiri, berdasarkan karakteristik, dan kebolehannya; nilai dan kultur, serta matinya perasaan terdesak menjadi faktor penghadang di depan hambatan dalam mewujudkan akuntabilitas pendidikan;  upaya-upaya untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas di sekolah sangat bergantung kepada kemauan dan kemampuan serta visi perubahan warga sekolah mewujudkan akuntabilitas serta  memiliki efek pada pencitraan publik terhadap sekolah.

DAFTAR RUJUKAN

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1983. Materi Dasar Pendidikan Akta Mengajar V Buku IIA, Dasar Ilmu Pendidikan.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Jalal Fasli & Dedi Supriyadi .2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah.Yogyakarta: AdiCita

Knezevich, S.J. (Ed.).1973. Creating Appraisal and Accountability Systems. San Francisco: Jossey Bass, Inc.

Slamet PH. 2005. Handout Kapita Selekta Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar